Monday, December 20, 2010

Dream Mapping

I write this down from my other posting in the blog 'Astari Pahlevi's Diary'

This is all I want to reach:

5 things I want the most. And I'm gonna write these things down:
1. A house in Ubud, Bali
2. Publish my books
3. Speak at least 5 languages including Bahasa Indonesia and English (of course), Italian, Spanish, and Portuguese. Yes, should be those languages because I f'in love the countries. And by the countries I'm not only talking about Italy, Spain, and Portuguese, but also every Spanish-speaking and Portuguese-speaking countries.
4 Go to Italy and live there for at least a year, learn about its culture, history, arts, buildings, calcio, and especially… culinary!
5. Meet Ronaldo Luis Nazario da Lima, the greatest player on earth

Well, it said only 5 biggest dreams. But actually, I have another biggest dreams such as:
1. Study animation seriously and work in Disney or Pixar (I’m willing to do even without being paid!)
2. Study football/soccer seriously and coaching a big team (well, sometimes I hope I can coach Indonesian national team and make them to World Cup)


Hmm. I wish, and I'm sure, that I would reach all of my dreams if I really want them. And yes! I really want them!


My Goal:
In the seminar material, there is a paper with the words like this:

"My Goal:
Write down the aims you want to reach in 3 years"

and below those words, there are 5 categories such as:
1. Career, position, job
2. Family
3. Material, money, wealthiness
4. Personal, health, hobby, social, etc
5. Spiritual, religion, worship

So, this is how I fill those categories:
1. Have a big salary, more than Rp 20,000,000/month ($ 2,222)
2. none
3. Simple but unique house in Ubud; classic, dove, sky blue VW beetle with red interior; a futsal field
4. Speak English well, speak Italian, Spanish, and Portuguese as well; have a world cup football collection (especially Jabulani and Fever Nova!); publish my books
5. none

And BTW, don't judge me for having no goals in the categories number 2 and 5. I really don't have anything there and I don't even care.

Thursday, December 16, 2010

Children, Family, Motherhood

I maybe not knowing anything about them. I'm not sure I want to have or deal with any of it.

I'm not a family person.

Doesn't mean I don't love my family. It's just that family seems to be... well, not really my thing. I mean, have to take care of something is such a big kinda responsibility. I don't like big responsibility. Well, it's different when money comes with that responsibility. It's called being professional. I can be professional. But when the responsibility comes with nothing for me... hmm, that sucks.

Not that I'm money-oriented or something. I just think that it would be hard for me to find a good motivation.

Sometimes, most of the times, I kinda hate some of my friends who judge people based on whether they like their parents or not, whether they are good to their parents or not. No, I don't hate my parents at all. But I never judge anyone for hating their parents.

Indonesians are mostly morons who think that every parents, especially mothers, are always right, and good, and nice, and wise, and everything. So Indonesian morons think that every children who hate their parents are very bad children. The morons don't know and don't care to know, whatever are those parents like.

Indonesian parents, well, some of them, yell at their children, vent their anger to their children, even beat the children. In some developed, modern countries, like US, those parents would have been punished for how they treat their children. Modern countries protect children rights.

But in Indonesia, parents are everything. Because they have money. Because they can feed the children. Or just because they are... PARENTS!

So, in those modern countries, people would think, and think, and think, very carefully, before deciding to have children. Because they know what a big responsibility it is.

In Indonesia, those morons easily decide to just have as many children as they can. Yeah, thanks to their believes. The morons think that having children is part of worship to God. They think that the more children they have, the more fortune they get. Or they just think that having children is a must, or else, people would think they crazy or something.

So, the morons just get married and have children as much as they can. They don't even care about being good parents. And when those poor abused children grew as troubled personalities, those parents are just getting more upset and vent their anger to their children again! They blame those children for having troubled personalities, which actually definitely their fault!

I mean, seriously! If you could tell that your children are troubled, then why don't you take them to the therapist? Aha! One more! Indonesian parents care about their images more than they do about their children's mental health! So, better to force their children to heal themselves than to take them to therapist and bring shame to family.

You morons may say that I can't say nothing because I don't even know yet how to be a parent. But I'd say... "That is exactly why!"

That is exactly why. No children have ever felt how to be parents feels like. But every parents definitely were, had been, and surely know how it feels to be... children! So at least they could understand, even a little, how their children feel!

Well, I don't know if I want to have children, or not. But if someday I ever decided to have one, I would try my best to be responsible for what I've decided.

I would try my best to be the best mother for my children. If I raised a troubled children, I wish I would realize that it was my fault, and I won't yell at my child. I would try my best to help my troubled children.

And by the way, I'm 99% sure that I wouldn't have children. Because I don't want to be a bad mother. So I'm f***in confused with those morons who tried to convince me that I really need to have family and children, but at the same time, also judging me for not being an obedient child. F*** U ALL!!

Wednesday, December 1, 2010

Pengalaman jadi anak Kos (part 1)

Sewaktu kuliah di Universitas Pelita Harapan, aku tinggal di rumah kos Ibu Lani. Bu Lani adalah ibu-ibu tua yang cerewet, tipikal ibu kos. Suaminya, Om Subianto, adalah sosok yang sangat berbeda, tidak banyak bicara dan selalu tampak tenang.

Part 1: Teman-temanku

Selama aku tinggal di kos itu, penghuninya datang dan pergi. Dulunya tempat itu adalah tempat kos khusus mahasiswi. Pertama kali aku tinggal di kos itu, di sana sudah ada 3 mahasiswi lainnya, Kak Fang Fang (2 tahun lebih tua dariku), Kak Liana (setahun lebih tua dariku), dan Kak Clarissa (sebenarnya hanya 2 bulan lebih tua, tapi karena ia seniorku di DKV maka aku memanggilnya Kak) yang sudah lama kos di sana.
Juga ada Kak Tintin yang waktu itu sama-sama mahasiswa baru. Ia mahasiswa Fakultas Kedokteran, 3 tahun lebih tua dariku tapi saat itu baru pindah dari Universitas Maranatha, Bandung, ke UPH. Lalu setelah aku, datanglah Manda, yang langsung menjadi teman terdekatku di kos.

Selama setahun pertamaku tinggal di tempat kos itu, teman kosku tidak berubah-berubah, selalu mereka saja: Kak Fang Fang, Kak Liana, dan Kak Clarissa di lantai atas, Kak Tintin dan Manda di lantai bawah bersamaku.
Lalu tahun depannya Manda keluar. Ia pindah ke Town House menempati rumah kontrakan bersama teman satu jurusannya, yang juga teman lamaku, Vania. Lalu kamar Manda kosong selama beberapa lama sebelum ditempati Intan, yang saat itu mahasiswa baru. Intan sama cantik dan menariknya dengan Manda. Tapi ia sudah pindah sebelum aku sempat dekat dengannya. Lalu kamar Manda sempat kosong cukup lama. Lama sekali malah.

Setelah setahun kosong, akhirnya kamar yang dulunya ditempati Manda itu diisi juga oleh mahasiswa baru lagi, Grace. Grace langsung jadi teman terdekatku di kos. Anaknya ramah, lucu, ceriwis, dan menyenangkan. Dalam banyak hal, ia mirip Manda. Mungkin karena itu aku bisa langsung cocok.
Lalu ada suatu insiden yang menyebabkan Tante dan Kak Tintin bermasalah, sehingga Kak Tintin keluar dari kos dengan cara yang tidak mengenakkan.
Giliran kamar Kak Tintin yang kosong. Tak lama setelah itu, Kak Fang Fang juga keluar dari kos karena sudah lulus kuliah. Tapi kamarnya segera diisi oleh seniorku di DKV, Michael.

Michael adalah cowok pertama yang menghuni kosku. Pro dan kontra terjadi di kalangan para orangtua anak kos. Tapi anak-anak kos sendiri menerima Michael dengan senang hati. Michael adalah cowok yang dewasa, ramah, supel, dan bertanggung jawab. Selain itu, sebelum masuk ke kos kami, ia sudah lebih dulu mengenal Kak Clarissa, Kak Liana, dan aku. Aku, Kak Clarissa, dan Michael memang satu jurusan di DKV. Lebih baiknya lagi, Michael juga pandai memasak!

Tak lama setelah Michael tinggal di kos, aku berhasil mendapatkan teman untuk menghuni bekas kamar Kak Tintin. Teman itu adalah Noumira, teman lamaku. Sejarah perkenalanku dengan Noumira dimulai saat aku melihatnya pertama kali di lapangan. Saat itu ia pacar Rino, si bule yang suka main bola. Aku sudah mengenal Rino sejak tahun pertamaku di UPH. Dulu aku ikut tim sepakbola pria di UPH. Rino beberapa kali ikut bermain bersama anak-anak tim sepakbola UPH. Nah, sewaktu melihat Noumira bermain bola di pinggir lapangan bersama Rino, keesokan harinya aku langsung menanyakan nomor telepon Noumira pada Rino, karena saat itu aku berniat membangun tim sepakbola putri.
Begitu mendapatkan nomornya, aku langsung menelepon dan membuat janji untuk bertemu hari berikutnya. Hari berikutnya itu kami berkenalan, dan mulai menjadi teman dekat. Aku sempat berhasil membentuk tim sepakbola putri dan beberapa kali Noumira ikut latihan. Setelah itu ia pergi ke Rusia cukup lama.
Nah, suatu hari, saat kamar Kak Tin sudah lama kosong, tiba-tiba saja Noumira meneleponku. Ia bermaksud mengajakku untuk menjadi teman sekamarnya di dormitory UPH. Setelah membandingkan dormitory UPH yang diceritakan Noumira dengan tempat kosku, aku menyimpulkan, dan langsung mengatakan pada Noumira, bahwa secara harga dan kualitas, tempat kosku jauh lebih bagus. Noumira langsung datang ke kosku bersama ibunya dan segera memutuskan untuk kos di tempat itu juga.

Begitulah, akhirnya tempat kos kami kedatangan penghuni baru satu lagi. Tak lama setelah Noumira masuk, Kak Clarissa sudah lulus kuliah dan keluar dari kos, digantikan dengan Kak Mony, seorang guru yang mengajar di SMA Pelita Harapan. Saat-saat di kosku ada Grace, Noumira, dan Michael adalah saat-saat paling seru dan menyenangkan di kosku, setidaknya sampai saat itu. Kami hampir selalu makan malam bersama, entah itu pesan antar, makan di luar, atau Michael memasak untuk kami. Setelah makan malam, kami akan tetap duduk-duduk di ruang TV untuk main kartu, monopoli, ataupun menonton TV. Kadang-kadang Deany, adikku, menginap di kos dan ikut bermain bersama kami.

Selama tinggal di kos, Michael adalah orang yang paling banyak membantuku, terutama soal mengerjakan tugas. Ia juga banyak membantu anak-anak kos lainnya, Noumira, Grace, Kak Liana, dan Kak Mony. Sayangnya Michael hanya 6 bulan berada di kosku. Setelah lulus, ia kembali ke rumah aslinya di Surabaya.

Setelah ditinggalkan Michael, kamar itu langsung dihuni oleh Yemima. Tahun ajaran 2007/2008 baru dimulai. Grace akhirnya punya 'adik' di kos itu. Tapi Noumira pergi tak lama setelah Yemima tinggal di kos. Kamarnya lalu diisi seorang pegawai Asia Tower, Kak Tania. Kak Tania cantik, dewasa, dan cerdas. Tapi aku jarang bisa mengobrol dengannya karena tentu saja ia sibuk berkerja. Lalu Grace pergi dan digantikan oleh Kak Lianty, seorang dosen UPH.

Yang paling kuingat dari masa-masa kos bersama Kak Tania dan Kak Lianty adalah: saat itu aku sedang tergila-gilanya pada David Cook, American Idol 7, sejak melihatnya di pekan Top 7, Mariah Carey. Kalau kegiatan yang paling sering kulakukan dengan Kak Tin dan Manda adalah makan di mal, kegiatan yang paling sering kulakukan dengan Kak Clarissa, Kak Liana, dan Michael adalah makan di warung-warung tenda Villa Permata, dan kegiatan yang sering kulakukan bersama Grace, Ami, dan Michael adalah main kartu dan tertawa-tawa di ruang TV, maka kegiatan yang paling sering kulakukan bersama Kak Mony, Kak Tania, dan Kak Lianty adalah menonton 'American Idol 7'!
Kami masing-masing akan sibuk berkomentar. Kadang Kak Liana dan Yemima juga ikut menonton. Mereka semua sudah tahu kegilaanku pada David Cook.

Kak Tania hanya sebentar sekali tinggal di kosku. Setelah ia pergi, kamar itu diisi oleh Ariel, yang diakui Tante sebagai saudaranya, sekedar agar tidak menuai protes dari para orangtua yang awalnya memasukkan putri mereka ke kos tersebut karena tahu tempat itu dikhususkan untuk wanita saja. Tapi memang, ayah Ariel teman dekat Tante dan Om, dan selalu ikut kebaktian bersama di tempat kosku itu.

Tak lama setelah Ariel masuk, Kak Lianti keluar. Lalu Kak Liana lulus dan juga pergi meninggalkan kos. Selama aku tinggal di kos itu, di antara semua yang pernah menjadi teman kosku, Kak Liana adalah yang paling lama menjadi temanku di kos. Dari lima tahun pengalamanku tinggal di kos itu, empat setengah tahun Kak Liana menjadi teman satu kosku. Kak Liana juga salah satu yang paling baik dan berkepribadian menarik.

Kak Liana, dari lima orang yang menjadi penghuni kos itu di tahun pertamaku, menjadi yang terakhir meninggalkan kos. Dengan perginya Kak Liana, maka penghuni kos telah sama sekali berubah sejak pertama kalinya aku menempatinya. Kamar bekas Kak Liana lalu ditempati Evan, mahasiswa Fakultas Kedokteran UPH. Dan akhirnya, datanglah Candra, menempati kamar yang ditinggalkan Kak Lianti.

Enam bulan terakhirku di kos, saat-saat aku begitu dipusingkan dengan tugas akhir, teman-teman kosku adalah Kak Mony, Yemima, Ariel, Evan, dan Candra. Tapi Kak Mony jarang di kos dan Evan selalu menghindari kami. Tampaknya ia memang benar-benar enggan bergaul dengan kami. Jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Yemima, Candra, dan Ariel. Kami berempat sering menghabiskan waktu bersama. Sama-sama memesan makan malam, sama-sama makan di luar, sama-sama pergi di malam hari sekedar untuk bersenang-senang dan melepas penat, duduk-duduk di ruang TV, menonton apa saja, kadang memainkan permainan. Sesekali Kak Mony ikut menghabiskan waktu bersama kami, ketika ia tidak sibuk mengoreksi dan memberi nilai pekerjaan murid-muridnya.

Setelah Kak Mony pergi, kami benar-benar tinggal berempat: aku, Yemima, Ariel, dan Candra. Evan sama sekali tidak perlu diperhitungkan.
Saat-saat terakhirku di kos adalah saat-saat yang sangat menyenangkan, bersama kelompok teman paling menyenangkan selama tinggal di kos itu. Aku semakin sering pergi bersama mereka. Suatu malam kami pergi ke Sumarecon Mal Serpong untuk menonton 'Knowing' di XXI. Malam lainnya kami pergi karaoke di Happy Puppy BSD Junction. Malam lainnya makan dan duduk-duduk di Benton. Sering juga hanya makan di Taman Diponegoro. Candra lah yang paling sering mengajak pergi, dan biasanya ajakannya terlalu sulit untuk ditolak, bahkan saat aku sedang benar-benar mengejar deadline.

Dan akhirnya aku pergi, setelah lima tahun menjadi penghuni tetap kos itu. Tak lama setelah kepergianku, Yemima juga pergi karena mendapat masalah dengan Tante. Candra dan Ariel juga pergi karena kontrak mereka sudah habis. Yang tersisa tinggal Evan. Aku tidak tahu lagi kabarnya setelah itu.

Begitulah kenang-kenangan manisku bersama teman-teman baikku di kos. Di bagian berikutnya aku akan menceritakan sisi lain dari kehidupanku sebagai anak kos.

Thursday, November 18, 2010

Cita-citaku

Cita-cita terbesarku (dalam arti yang paling kuinginkan) adalah bertemu dengan Ronaldo Luis Nazario da Lima. Permainannya telah mengubahku 180 derajat, dari yang sama sekali tidak suka sepakbola, sampai jadi tergila-gila pada sepakbola. Cita-cita yang berhubungan dengan hal ini adalah, aku ingin mengabdikan diri untuk majunya persepakbolaan nasional. Di Indonesia sudah banyak sekolah sepakbola di mana-mana. Anak-anak Indonesia pun sudah banyak yang dikirim ke luar untuk sekolah sepakbola maupun menjadi pemain profesional. Anak-anak dan pemuda-pemudi Indonesia memiliki potensi untuk majunya pesepakbolaan nasional. Namun, mengapa PSSI tidak kunjung berprestasi? Orang-orang banyak mengkritik. Tapi, suatu hari nanti aku akan mencoba melakukan sesuatu.

Setelah itu, cita-cita yang sangat kuinginkan lainnya adalah punya rumah sendiri. Aku ingin tinggal sendiri. Mungkin hanya bersama dengan anjing dan seorang pembantu yang setia dan serba bisa. Di rumah itu aku akan menjadi satu-satunya pembuat keputusan. Aku tidak perlu menurut kepada siapapun dan tidak perlu mengalah pada siapapun. Aku tidak punya kewajiban apapun selain pada diriku sendiri (dan menggaji pembantuku tentunya).

Aku ingin bisa menguasai minimal 3 bahasa selain bahasa indonesia dan inggris. Ketiga bahasa tersebut adalah italia, spanyol, dan portugis. Saat ini aku sudah mulai bisa bercakap-cakap dalam bahasa italia dan sedikit spanyol dan portugis. Aku masih perlu banyak latihan.
Selain tiga bahasa itu, kalau bisa aku juga ingin menguasai bahasa yunani, prancis, mandarin, jepang, dan korea. Sebenarnya bahasa yunani bisa dimasukkan ke golongan pertama sih, golongan bahasa yang ingin sekali kukuasai.
Aku ingin menguasai bahasa-bahasa itu karena banyak alasan. Aku ingin belajar menjadi pelatih sepakbola di Italia dan Spanyol kalau ada uang dan kesempatan. Aku ingin menguasai bahasa portugis karena aku ingin sekali, seandainya aku diberikan kesempatan bertemu dengan Ronaldo, aku bisa bicara dalam bahasa portugis padanya. Aku juga ingin mempelajari kebudayaan, sastra, filsafat, seni, sejarah, gaya hidup, masakan, dan baaaanyak hal lainnya dari negara-negara tersebut.
Dan alasan terakhir, dan ini juga salah satu yang paling penting: setiap kali aku bertemu dengan orang asing dari negara manapun, aku sangat berharap bisa berbicara dengan orang asing tersebut dengan menggunakan bahasa mereka. Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan seorang Jepang di dokter hewan. Aku menyesal sekali karena tidak bisa bahasa Jepang. Aku hanya bisa mengucapkan sedikit sekali kata dalam bahasa Jepang, hanya kata-kata yang diketahui orang pada umumnya.

Cita-citaku lainnya adalah menjadi penulis novel. Aku suka sekali menulis dan melihat orang lain membaca tulisanku. Aku suka berkhayal dan membuat cerita. Aku sudah punya banyak ide untuk dijadikan novel. Tapi sayangnya, aku belum punya kesempatan untuk mengembangkannya.

Karenanya, aku bercita-cita menjadi orang yang kaya raya dengan uang dan waktu yang tanpa batas. Jadi aku bisa punya waktu dan biaya untuk mengembangkan segala potensi yang ada dalam diriku.

Dan pada akhirnya, cita-cita terbesarku dalam hidup adalah: Memaksimalkan Segala Potensi yang Ada!!

Sebenarnya aku punya banyak sekali cita-cita. Sampai-sampai blog ini jadi terkesan berantakan, tidak beraturan, karena aku benar-benar bingung bagaimana harus menceritakan seluruh cita-cita besarku dalam satu blog.